Selasa, 22 Oktober 2013

Curahan Hati "Dadang Wihanda" Dua hari Sebelum Ajal Tiba

Ibu izinkan aku mengenangmu, sejak kecil engkau tahu tungkai kakiku lemah, namun dengan kasih sayangmy kau antarkan diriku ke gerbang dunia yang luas, kini aku merasakan sakit pada kaki. Yang tidak seberapa dibanding puluhan tahun engkau mengurusku..Ibu, aku rindu pelukanmu. aku rindu melihat senyummu, aku yakin engkau bahagia dialam sana.

Bapakku, izinkan aku mengenangmu, kau yang pontang panting menghidupi kami sampai menukarkan ikan hasil tangkapan dengan ubi, engkau tidak pernah lelah berjuang untuk kami walaupun beban enam anak sangat berat, kini aku hanya bisa berdo'a dan selalu ingin menjalankan wasiatmu, jaga saudaramu, jangan bertengkar dan harus saling menolong.
engkau yang berasal dari desa pesisir telah mengantarkan aku menikmati pendidikan tinggi, jauh lebih tinggi dari saudaramu, semoga allah memberikan ampunan dan kelapangan di alam barzahmu.

orang mengatakan sifat saya mirip ibu, banyak yang menafsirkan negatif, tetapi saya yakin 1000 persen ibu adalah orang yang konsisten dalam memajukan anaknya walau ia tidak sempat punya apa-apa sebagaimana layaknya guru pada waktu itu, namun pancaran kebahagiaannya masih meresap hingga sekarang, pribadi yang apa adanya, tidak pernah memaksakan kehendak, tidak gengsian dan teguh pendirian dan itulah yang dominan mengisi gaya manajerial kepemimpinanku. beliau sering bercerita dipercaya membereskan sekolah yang amburadul, itulah yang kini ku alami.

Terima kasih ibu, engkau memberi contoh tanpa banyak biacara, maafkan anakmu yang tidak mampu membahagiakanmu.

masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan dikeluarga kami, sering kami saling ledek kecuali sama ceuceu tidak pernah. A Yanto dibilang "pitet", A Enton dibilang "beton", saya dibilang "delu".
Setiap bapak gajian ibu membeli sate 10 tusuk dari mang pidin, masing-masing hanya mendapat jatah satu dengan kecap yang banyak, itulah makanan yang pualing lezat bagi kami. kalau belajar pake lampu tempel dan petromaks, saya yang bertugas menyalakannya. Kalau mandi harus nimba dulu, wa enton yang paling rajin nimba, tidur dimana saja sesuka hati, tidak ada kamar khusus, kecuali wa Guru.

Ibu merasa tidak akan mampu menyekolahkan anaknya tinggi, sehingga sampai dengan Wa enton cukup sampai SPG dan STM, Wa Yanto dan wa Guru tinggal di majalengka, jadilah kami berpisah sejak keluar SMP, sedangkan saya hingga Mang Enceng ibu merasa harus menyekolahkan jadi sarjana, jadilah beliau pontang panting membiayai kami.
alhamdulillah keinginan beliau dikabulkan ALLAH SWT.

Untuk selanjutnya kalian generasi ke tiga kuatkan tekad merai cita-cita, jangan terjebak gaya hidup yang instan, santai dan bagaaimana nanti. Insyaallah kalian bisa ; Ira, Ari, Lia, Dll

Tulisan ini sengaja dibuat agar kalian tahu bagaimana perjuangan generasi sebelum kalian meningkatkan kualitas keluarga hingga pengorbanan nyawa. Insyaallah mereka ridho dan ikhlas.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita diatas dibuat dua hari sebelum beliau wafat, beliau mengirimkan pesan cerita ini melalui blackberry messenger kepada seluruh keluarga ketika beliau terbaring di rumah sakit.
kisah ini seakan menjadi sebuah firasat sebelum beliau pergi, tapi semuanya sadar jika ini merupakan firasat ketika beliau sudah tak lagi ada.

kami keluarga sangat amat menyayangi beliau khususnya aku yang sangat amat menyayanginya, beliau adalah pamanku, sekaligus pengganti Alm papahku. mengapa aku berkata seperti itu, karena aku merasa sangat dekat dengan beliau. kasih sayanagnya sama seperti papahku. tak hanya kasih sayang yang sama tetapi wajahnyapun sama dengan papah hal itu yang membuat aku merasa nyaman,

ketika melihat beliau berjuang untuk mempertahankan hidup dan melawan rasa sakit, sungguh hati ini begitu tersayat. seakan aku ingin menukarkan raga ini agar aku saja yang merasakan kesakitan itu.

cerita-cerita bersama beliau dan keluarga selalu ada dalam memory ingatan indahku.
semuanya indah dengan penuh rasa syukur.
aku hanya bisa mendoakan tanpa bisa membalas budi. sungguh, rasanya seperti kehilangan papah untuk yang ke dua kalinya.
tak pernah letih diriku untuk selalu berdoa, agar paman dan papah bisa tersenyum di surga Allah yang indah...

kami sangat amat mencintaimu...
 :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar